Halaman

    Social Items

Bosan dengan acara televisi swasta nasional yang sesak oleh acara sinetron yang ceritanya tak jauh dari konflik keluarga, cinta, dan syahwat, remot televisiku berhenti di saluran TVRI. Kebetulan sedang disiarkan acara dibalik pembuatan animasi 3D Si Kabayan. Di sela-sela acara muncul iklan Arjuna dan Srikandi Pajak dari Dirjen Pajak yang mengajak warga negara yang baik untuk peduli terhadap negaranya. Menjadi patriot dengan membayar pajak yang menjadi pemasukan negara.

Mendengar soal pajak, aku jadi teringat cerita temanku mengenai pajak radio dan televisi yang sempat muncul di pertengahan dekade 80-an. Gara-gara mendengar akan ada petugas pajak yang datang, teman-temanku seperti maling kesiangan menggotong radio dan tv mereka untuk disembunyikan di kebun. Pada masa itu lingkungan sekitar rumah masih banyak kebun luas dan rimbun. Katanya sih, sebab aku baru tinggal di lingkungan itu mulai tahun 1996.

Bicara soal pajak, aku menjadi heran. Apakah atribut kampanye bukan objek pajak,ya? Waduh, soal kampanye lagi. Semula aku tidak peduli ulah orang-orang yang gila jabatan dan haus kekuasaan dengan mengorbankan rakyat kecil. Tapi semenjak kejadian hampir kena tilang gara-gara rambu lalu lintas tertutup atribut kampanye itu, yang untungnya aku dibantu para rider Black Motor Community yang sekali lagi untungnya melihat stiker Black Community tersebut aku jadi perhatian mengenai hal yang satu ini. Aku sih sering melihat spanduk-spanduk di pinggir jalan yang diberi stempel tanda lunas pajak reklame, tapi aku belum pernah melihat stempel serupa menempel di spanduk atribut kampanye. Bahkan pada balego raksasa sekalipun.

Padahal atribut kampanye tersebut telah tepampang sejak dua bulan yang lalu dan kemungkinan besar akan tetap terpampang hingga sebulan ke depan. Jadi setidaknya spanduk dan balego raksasa tersebut nongkrong di jalanan selama tiga bulan. Jika pajak reklame diterapkan pada mereka, berapa trilyun pemasukan pajak masuk ke kas negara dan kas daerah? Berapa ribu anak jalanan yang dapat diangkat dan diberikan haknya sebagai anak bangsa?

Dan aku yakin, jika pajak reklame diterapkan pada atribut kampanye, mereka tidak akan seenaknya mengumbar nafsu memasang spanduk, banner, dan balego. Bisa jadi mereka akan lebih bijaksana mengatur anggaran kampanye dengan mencari metode kampanye yang lebih efektif dan simpatik. Semoga.

Mana Arjuna dan Srikandi Pajak

Bosan dengan acara televisi swasta nasional yang sesak oleh acara sinetron yang ceritanya tak jauh dari konflik keluarga, cinta, dan syahwat, remot televisiku berhenti di saluran TVRI. Kebetulan sedang disiarkan acara dibalik pembuatan animasi 3D Si Kabayan. Di sela-sela acara muncul iklan Arjuna dan Srikandi Pajak dari Dirjen Pajak yang mengajak warga negara yang baik untuk peduli terhadap negaranya. Menjadi patriot dengan membayar pajak yang menjadi pemasukan negara.

Mendengar soal pajak, aku jadi teringat cerita temanku mengenai pajak radio dan televisi yang sempat muncul di pertengahan dekade 80-an. Gara-gara mendengar akan ada petugas pajak yang datang, teman-temanku seperti maling kesiangan menggotong radio dan tv mereka untuk disembunyikan di kebun. Pada masa itu lingkungan sekitar rumah masih banyak kebun luas dan rimbun. Katanya sih, sebab aku baru tinggal di lingkungan itu mulai tahun 1996.

Bicara soal pajak, aku menjadi heran. Apakah atribut kampanye bukan objek pajak,ya? Waduh, soal kampanye lagi. Semula aku tidak peduli ulah orang-orang yang gila jabatan dan haus kekuasaan dengan mengorbankan rakyat kecil. Tapi semenjak kejadian hampir kena tilang gara-gara rambu lalu lintas tertutup atribut kampanye itu, yang untungnya aku dibantu para rider Black Motor Community yang sekali lagi untungnya melihat stiker Black Community tersebut aku jadi perhatian mengenai hal yang satu ini. Aku sih sering melihat spanduk-spanduk di pinggir jalan yang diberi stempel tanda lunas pajak reklame, tapi aku belum pernah melihat stempel serupa menempel di spanduk atribut kampanye. Bahkan pada balego raksasa sekalipun.

Padahal atribut kampanye tersebut telah tepampang sejak dua bulan yang lalu dan kemungkinan besar akan tetap terpampang hingga sebulan ke depan. Jadi setidaknya spanduk dan balego raksasa tersebut nongkrong di jalanan selama tiga bulan. Jika pajak reklame diterapkan pada mereka, berapa trilyun pemasukan pajak masuk ke kas negara dan kas daerah? Berapa ribu anak jalanan yang dapat diangkat dan diberikan haknya sebagai anak bangsa?

Dan aku yakin, jika pajak reklame diterapkan pada atribut kampanye, mereka tidak akan seenaknya mengumbar nafsu memasang spanduk, banner, dan balego. Bisa jadi mereka akan lebih bijaksana mengatur anggaran kampanye dengan mencari metode kampanye yang lebih efektif dan simpatik. Semoga.

No comments

Please, leave your comment here.